Sabtu, 14 Mei 2011

cerita rakyat sanggau



Berawal dari Kedatangan Babai Cingak
Kerajaan Sanggau merupakan salah satu situs sejarah yang berharga bagi Kalbar. Istana kerajaan berada di jantung kota Sanggau, persisnya di daerah Muara Kantuk, Kelurahan Tanjung Sekayam.
Cikal bakal berdirinya kerajaan Surya Negara sebetulnya bukan di Muara Kantuk. Pusat kerajaan Surya Negara awalnya terletak di Desa Mengkiang, Kecamatan Sanggau Kapuas. Para raja yang berkuasa menjalankan roda pemerintahnya dari dalam istana bernama Keraton Rumah Besar.
Saat berpusat di Desa Mengkiang, kerajaan Surya Negara di kenal dengan nama Kerajaan Paku Negara. Para raja yang memerintah pun umumnya mendapat gelar Pangeran Paku Negara. Gelar tersebut selalu diselipkan dalam nama para raja sebagai pertanda kebangsawanannya.
Berdasarkan penuturan keturunan Kerajaan Paku Negara, Ade Ibrahim bin Ade Husein, sejarah berdirinya kerajaan Paku Negara dimulai saat salah seorang pemuda bernama Babai Cingak datang Desa Mengkiang, sekitar tahun 1400 Masehi. Babai Cingak berasal dari daerah Sabok (Perbatasan Kecamatan Balai Karangan-Sarawak Malaysia Timur).
“Setelah menetap di Desa Mengkiang, Babai Cingak diangkat menjadi Temenggung. Ia kemudian kawin dengan seorang gadis bernama Putri Daranante. Daranante adalah anak pertama dari lima bersaudara, yakni Dara Juanti (Sintang), Dara Hitam (Landak), Dara Putih atau Dara Nandung (Sambas), serta Dara Junjung Buih (Ketapang),” cerita pria yang akrab disapa Pak Ngah Aim ini kepada Equator saat menyambangi kediamannya beberapa waktu lalu.
Dari perkawinannya dengan Daranante, Babai Cingak dikaruniai seorang anak perempuan bernama Dara Mas Ratena. Ia adalah gadis yang berparas manis dibandingkan gadis lain yang ada di sana. Dara Mas Ratena dibesarkan dengan adat istiadat agama Hindu, seperti yang dianut kedua orang tuanya.
“Saat dewasa, Dara Mas Ratena menikah dengan seorang pemuda bernama Abdurrahman. Ia merupakan warga Banten pemeluk agama Islam yang berkelana ke Desa Mengkiang sekitar tahun 1485 Masehi,” kata Pak Ngah Aim.
Menurut pria yang berusia 76 tahun ini, Abdurrahman adalah alumnus Pesantren Nurul Kamal Kerajaan Banten. Ia datang ke Mengkiang untuk menyebarkan agama Islam.
“Sejak kedatangan Abdurrahman ini, banyak warga Mengkiang yang memeluk Islam. Bahkan istrinya sendiri (Dara Mas Ratena, red) merupakan orang Mengkiang yang pertama memeluk Islam,” jelasnya.
Untuk kepentingan menyiarkan Islam, Abdurrahman kemudian mendirikan rumah yang sangat besar. Rumah tersebut sering difungsikan sebagai tempat berkumpul dan menyebarkan agama Islam.
“Seiring perjalanan waktu, Abdurrahman kemudian dinobatkan menjadi raja pertama di Kerajaan Paku Negara, Desa Mengkiang. Selanjutnya, rumah besar yang Ia bangun juga dijadikan istana dengan sebutan Keraton Rumah Besar,” ujarnya.
Dari pernikahannya dengan Dara Mas Ratena, lanjut Pak Ngah Aim, Abdurrahman dikarunia satu orang anak perempuan bernama Dayang Puasa. Dayang puasa selanjutnya kawin dengan Abang Awaluddin, warga Nanga Mau, Kabupaten Kapuas Hulu.
Melestarikan dan menghidupkan kembali tokoh dan budaya bangsa khususnya Budaya Dayak Sanggau. Grup ini untuk mengenang Tokoh Abai Cinga dan Dara Nante. Bumi Dara Nante adalah nama lain dari Kota Sanggau.

Legends of Abai Cinga

Keteranagan Abai = Babai artinya sama yaitu kakek/datuk/eyang

Tampun Juah adalah perkampungan Dayak di pedalaman hutan Borneo. Kampung itu letaknya dipinggir sungai Entabai yang mengalir ke sungai Sekayam. Tampun Juah letaknya di hutan yang lebat di Borneo.

Pimpinan kampung atau Tumenggung yang bernama Donia anak Laban sudah meninggal dunia, maka penduduk kampung sedang sibuk memilih Tumenggung baru. Pada malam hari sewaktu bulan purnama para orang-orang tua berkumpul di Batu Hampar guna bersidang sementara anak-anak muda duduk-duduk dekat Batang, rumah panjang, bernyanyi dan membaca pantun dan anak kecil berkejar-kejaran. Nampak kampung itu hidup dan penduduknya berbahagia.

Di Batu Hampar orang-orang sudah duduk-duduk, bercakap hal-hal yang ringan sambil menanti ketua sidang. Sementara juga ada yang membakar damar Pedagi untuk memanggil Tompo-Tompo, Tuhan, sebelum sidang dimulai agar Tompo berkenan hadir dipersidangan itu.

Tumenggung sebelum Donia anak Laban adalah Tumenggung Babai Cinga. Dia sedang sakit pada kulit yang kita sebut dermatitis, mereka mengatakan kena penyakit Puak yang disebabkan kutukan dari Tuhan. Itulah sebabnya dia mengasingkan dirinya di bukit Entiju, bertapa, guna meminta maaf kepada Tuhan agar dibebaskan dari dosanya. Babai berarti Datuk atau Shaman, dia adalah orang yang dihormati dikampung itu.

Tak berapa lama ketua sidang datang dan semua yang hadir berdiri. Pekerjaan pertama ketua sidang adalah memanjatkan doa, katanya, " Oh Tompo, hadirlah dipersidangan ini, saya Gunang anak Aruang dengan kedua tanganku kuangkat aku bermohon kepadamu, hadirlah di persidangan ini," Kemudian dia membuka persidangan seperti biasa. Mereka yang hadir juga percaya bahwa Tompo hadir disidang ini, maka mereka menghormati dan mematuhi aturan sidang

Pinpinan sidang, Gunang anak Aruang berkata bagaimana seharusnya seorang pemimpin itu; dia seorang yang mampu memimpin masyarakatnya, dia seorang yang mampu membagi keadilan dan seterusnya. Dia mempersilahkan setiap orang untuk ikut memberikan pendapatnya sebagai suatu sidang yang demokratik.

Seeorang berkata," saya Dumai anak Liga ingin mengatakan sesuatu bahwa kemarin kita sudah sependapat akan mengangkat Babai Cinga menjadi pemimpin kita."

" Ya,Ya benar, kita sudah sepakat akan mengangkat dia menjadi pemimpin kita," seru para hadirin.

" Tetapi anda harus mempertimbangkan akan sakitnya dia dan kemampuan dia untuk memimpin yang disebabkan dia sekarang mengasingkan diri di bukit Entiju," kata Gunang anak Aruang.

Semua orang kecewa mendengar itu, karena mereka percaya bahwa Babai Cinga adalah pemimpin yang baik.

Tiba-tiba Babai Cinga datang memasuki tempat sidang. Dia pucat dan tampak tua. Sewaktu dia masuk keruangan, bau busuk dari nanah yang keluar dari kulitnya menyebar keseluruh hadirin. Tampaknya dia tidak mempunyai ambisi untuk menjadi pemimpin karena sakit, maka dia hanya diam dan duduk. Tetapi dia tampak masih kuat, terlihat dari ototnya dan langkahnya. Dia tahu bahwa semua yang hadir memperhatikan dia dan mengharapkan dia

Gunang anak Aruang berkata, " Babai Cinga kita semua bergembira dengan kedatangan kamu; Karena semua orang telah memilih kamu sebagai pemimpin kami, maka kamu harus berbicara disini."

" Saudara-saudara yang hadir dari seluruh kampung Tampua Juah, demi Tompo diatas langit dan demi Roh dari Pendagi, saya Babai Cinga sudah terlalu tua untuk menjadi pemimpin kamu; saya sudah memimpin kamu selama dua puluh tahun sebelum saya memutuskan untuk bertapa di bukit Entiju; saya telahmemilih Donia anak Laban menggantikan saya dan sebagaimana kita ketahui Donia anak Laban telah meninggal dunia; Saya yakin bahwa kita dapat memilih salah seorang diantara kita di Tampun Juah untuk mampu dan bersedia menjadi pemimpin.

Dia berhenti berbicara, dan sidang menjadi sunyi tidak ada orang berkata ataupun berbisik. Maka Gunang anak Aruang mengambil inisiatif untuk berbicara," Baiklah siapakah diantara saudara-saudara yang mempunyai pendapat?"

Tetapi tidak ada orang yang bersedia berbicara.

" Jika demikian saya akan memberikan suatu mandat kepada Babai Cinga untuk memilih siapa diantara kita yang patut menjadi pemimpin. Apakah kamu setuju?" kata Gunang anak Aruang.

" Ya, kami setuju," kata para hadirin serempak.

Babai Cinga melanjutkan pidatonya," Saya belum siap untuk memilih salah satu dari kamu, karena saya harus menanyakan kepada Tompo diatas langit dan juga pelindung kita; Datanglah di bukit Entiju dua hari lagi, saya akan menunjuk satu diantara kamu."

Entiju bukit yang ditutupi oleh hutan lebat tempat Babai Cinga bertapa; Tepat dipuncak bukit ada satu gubuk tempatnya. Didalam kesunyian pilirannya, Babai bertanya kepada Tompo, " Tompo, siapakah yang akan memimpin kampung Tampuh Juah?. maka jawabannya segera datang kepikirannya, " Babai Tibai adalah pemimpin kampung Tampu Juah. Maka dia memberitahukan kepada utusan dari kampung Tampu Juah bahwa Babai Tibai yang akan memimpin masyarakat.

Babai Cinga didalam meditasinya memohon kepada Tompo untuk menyembuhkan penyakitnya. Setelah satu minggu dia melaksanakan mediatasi nya dan memohon kepada Tompo, datanglah jawabannya kedalam alam pikirannya, " Perkebunanmu sedang panen, datanglah dan petik satu ketimun dan kencing-i sebelum dilempar ke sungai Entabai, kerjakan. Kamu akan bertemu dengan seorang perempuan cantik; Dia adalah puteri suatu Kerajaan; Jangan ragu-ragu untuk mengawini dia, karena dia adalah akan menjadi isterimu."

Babai Cingan berpikir, " Bagaimana saya akan kawin dengan seorang perempuan dengan kulitku yang berbau dan bernanah seperti ini?, Oh Tompo engkau telah mendengar permohonanku oleh sebab itu aku akan melaksanakan perintahmu. Oh Tompo maafkanlah dosaku sehingga aku mendapat kutukmu seperti ini."

Yang empunya cerita tidak menerangkan dosa apakah yang telah diperbuat.

Babai Cinga pergi keperkebunannya, memetik satu ketimun yang baik, kemudian dikencing-i sebelum dibuang kesungai Entabai. Ketimun itu terdorong arus mengikuti arus dan sampai kesungai Sekayam. Sementara itu dihilir sungai Sekayam, tampak beberapa gadis sedang mandi disungai. Salah satu dari gadis-gadis itu adalah Dara Nante, Puteri dari Kerajaan Labai Lawai. Dia melihat satu ketimun yang terapung kemudian dia minta kepada kawannya untuk mengambilkan ketimun itu. Kita tentunya tau ketimun apa itu, itu adalah ketimun yang dikencing-i oleh Babai Cinga.

Kerajaan Labai Lawai terletak di hilir sungai Sekayam di pantai barat Borneo. Kerajaan itu adalah bagian dari kerajaan besar di Sumatra, Kerajaan Sriwijaya. Raja adalah seorang yang bijak, isterinya sudah meninggal, dia hanya mempunyai satu anak gadis yang bernama Dara Nante

Pada suatu hari Dara Nante memperlihatkan satu ketimun kepada ayahnya, " Ayah, apakah saya boleh memakan ketimun ini ayah? pintanya .

" Tentu saja boleh, tetapi dengan satu syarat, harus bersih, darimana kamu dapatkan ketimun ini? tanya Ayahnya.

" Saya dapatkan ini disungai Sekayam sewaktu kami sedang berenang," katanya.

" Oh jangan dimakan anakku, barang itu pasti kotor, kamu akan sakit jika makan itu, jangan," kata ayahnya.

" Hayolah bapak, saya sudah bersihkan tadi didapur, sudah tidak kotor lagi; Bolehkan ayah?" kata Dara Nante dengan sikap manja.

Ayahnya berpikir," Hanya sebuah ketimun, buat apa diributkan apalagi sudah dibersihkan, saya harus menyetujui anakku yang tersayang," Pada akhirnya Raja berkata, " Ya boleh"

" Terimakasih ayah," kata Dara Nante dan kemudian dia makan ketimun itu.

Satu bulan kemudian Dara Nante hamil tanpa suami. Bagaimana bisa terjadi begitu?. Hal ini terjadi karena dia makan ketimun yang sudah dikencingi dari sungai Sekayam. Raja menjadi marah, " Siapa yang berani mempermalukan anak saya?" kata Raja. Seluruh Negeri menjadi gempar, banyak anak-anak muda yang ditangkap untuk ditanyai oleh para pengawal raja, tetapi polisi gagal menangkap tersangka.

Dara Nante bermaksud untuk pergi mengasingkan diri guna mengurangi rasa malu dan rasa malu ayahnya. Dia meyakinkan ayahnya bahwa tidak seorangpun yang pernah berbuat sesuatu yang memalukan dirinya. Mungkin ini sudah kehendak Tuhan. Dia tidak menyadari bahwa hamilnya disebabkan dia makan buah ketimun dari sungai tadi.

Satu tahun kemudian Dara Nante melahirkan seorang bayi laki-laki. Semua orang percaya bahwa kelahiran bayi itu adalah kehendak Tuhan. Mereka memaafkan Dara Nante dalam hal melahirkan tanpa suami. Pada waktu Dara Nante melahirkan, ayahnya bermimpi didatangi seorang yang mengatakan untuk menanam sebatang tebu dihalaman. Hanya ayah dari cucunya yang akan dapat mematahkan batang tebu itu. Jadi Raja dapat menemukan anak menantunya dengan mengadakan kontes mematahkan batang tebu itu.

Raja menanyakan arti mimpinya kepada stafnya, Hulubalang dan juga kepada Dara Nante, pada suatu kesempatan pertemuan, apakah arti mimpi itu?

Salah seorang Hulubalang menerangkan bahwa menurut adat suku Dayak, bila bayi sudah pandai berjalan harus diadakan upacara mandi disungai. Pada waktu itu si bayi diberi sebatang tebu yang harus digenggamkan pada tangannya. Kemudian tebu itu harus ditanam di halaman.

Menurut saya kelihatannya ayah si bayi ini ada di hulu sungai.

Setelah batang tebu itu tumbuh, ambil dan dipergunakan untuk mencari sang ayah si bayi di hulu sungai. Siapa yang dapat mematahkan batang tebu tadi, dialah ayah si bayi. Carilah ayah si bayi di hulu sungai Sekayam.

Kemudian masyarakat dan keluarga kerajaan mengadakan upacara memandikan bayi di sungai sesuai dengan adat Dayak. Dan juga upacara menanam tebu setelah digenggam oleh tangan si bayi.

Lima tahun kemudian bayi sudah cukup besar untuk mencari ayahnya. Dara Nante bersama para pengikutnya, perajurit dan dayang-dayang pergi mencari suaminya dengan memakai perahu besar yang disebut Bidar kearah hulu sungai Sekayam; tidak lupa membawa tebu yang ditanam di halaman tadi.

Mereka sampai di sungai Kapuas dari sungai Kubu dan sesudah itu banyak cabang sungai yang menjadikan bingung untuk memilih yang mana sungai yang akan dilalui. Kemudian anak Dara Nante menunjuk kesalah satu cabang sungai, maka Dara Nante memutuskan untuk memilih sungai yang ditunjuk anaknya dan ternyata sungai itu adalah sungai Entabai yang akan mengantarkan mereka menuju kampung Tampun Juah di hulu sungai.

Kampung Dayak Tampun juah akan kedatangan tamu dari kerajaan Labai Lawai. Untuk pertama kalinya sebuah kapal besar datang kekampung itu. Mereka menjadi gempar karena disangka kedatangan musuh dari suku Dayak lain yang akan menyerang kampung mereka. Maka seluruh anak muda dikerahkan menjaga kampung, bahkn Babai Cinga turun dari bukit Entiju, memimpin sendiri perajurit. Mereka menggunakan senjata Mandau pedang orang Dayak, sumpit dan panah; mereka berjaga-jaga di tepi sungai diantara semak-semak.

Dara Nante dan para pengikutnya mengetahui keadaan yang berbahaya, maka dia mengibarkan kain putih tanda berdamai. Kemudian Dra Nante menyuruh seorang utusan untuk datang kepada Tumenggung disitu guna menerangkan maksud kedatangannya. Sang utusan menceritakan bahwa Puteri datang dengan maksud mencari suaminya yang dipercaya berada atau hidup di kampung ini menurut mimpi ayahnya. Oleh sebabitu dia bermaksud mengadakan sjaembara siapa yang dapat mematahkan batang tebu, dialah yang akan menjadi suaminya.

Masyarakat Tampuh Juah bergembira mendengar itu bukan kabar buruk tentang perang. Semua laki-laki muda datang mencoba mematahkan batang tebu. Tetapi mereka gagal mematahkannya; semua pemuda masyarakat disitu telah mencobanya dan hasilnya gagal semua. Sekarang tinggal Babai Cinga, tampaknya dia tidak mau mencoba, dia sangat malu disebabkan sakitnya. Tetapi semua temannya mendorong dan memberi dukungan keoadanya. Pada akhirnya dia setuju; hasilnya sangat berhasil, batang tebu itu dengan mudah dipatahkan. Semua orang bersorak hurray dan memberikan tepuk tangan kepadanya. Kita telah mengetahui bahwa dia lah yang mengencingi ketimun itu, itu lah sebabnya dia adalah suami Dara Nante.

Puteri Dara Nante datang dan menghampiri dia kemudian berkata, " Kamu menang maka kamu akan menjadi suami ku, apakah kamu bersedia menikah dengan ku?"

Babai Cinga hampir hampir tidak dapat menjawab disebabkan masih merasa malu dengan penyakit kulitnya; pada akhirnya dia menjawab dengan suara yang hampir tidak terdengar, " Ya, saya bersedia menjadi suami kamu tetapi dengan satu syarat, saya akan mengikuti kamu dengan berenang disamping kapal kamu menuju Labai Lawai."

" Mengapa kamu lakukan seperti itu?" tanya Puteri Dara Nante. " Saya tahu kamu sedang menderita penyakit kulit, tetapi saya telah siap dengan kondisi apa pun yang akan menjadi suami saya; itulah janji saya."

" Saya gembira kamu mau mengerti keadaan saya, tetapi say akan mengatakan Bahwa Tompo, Tuhan saya, meminta kepada saya untuk berenang mengikuti kapal kamu; barangkali ini adalah kutukan yang terakhir," kata Babai Cinga.

" Baiklah saya setuju dan saya harus setuju karena kamu adalah suamiku," kata Puteri.

Sesudah masyarakat Tampuh Juah dan tamunya mengadakan pesta perkawinan, kemudian mereka melepas Puteri pergi pulang kenegerinya bersama suaminya. Babai Tibai, Tumenggung yang baru denga para pengikutnya melepas dipinggir sungai Entabai. Babai Cinga siap berenang dibelakang Kapal dengan diikuti oleh sorak sorai dan tepuk tangan dari masyarakat Tampuh Juah.

Perjalanan pulang lebih cepat dari pada perjalanan pergi disebabkan kapal didorong oleh arus sungai. Mereka sampai ke Labai Lawai dalam waktu satu minggu.

Mengherankan Babai Cinga sembuh dari sakit kulitnya; kemungkinan Seluang, ikan-ikan kecil memakan nanah dan keropeng kulitnya sewaktu dia berenang. Tetapi Tuhan Tompo memenuhi janjinya untuk menarik kutukannya kepada Babai Cinga.

Sekarang Babai Cinga mempunyai kulit yang segar dan kelihatan muda dari sebelumnya sewaktu sakit.

Isterinya Puteri Dara Nante gembira demikian pula ayahnya, sekarang cucunya sudah mempunyai ayah.

Rakyat di kedua Negeri itu juga ikut bergembira.

Cerita ini menunjukan bahwa sekalipun masyarakat Dayak hidup terisolasi di hutan lebat Kalimantan/ Borneo, tetapi dia masih berhubungan dengan orang-orang yang hidup di hilir sungai dan di tepi pantai. Mereka tidak terisolasi dengan kebudayaan global.

Tidak ada komentar: